Kamis, 06 Januari 2011

10.KOPERASI: LEMBAGA PEMBERDAYA DES

Adalah Mr. Abe Yukio dari Idaca Jepang, yang menyampaikan kejutan lain dari negara “saudara tua” kita itu. Bahwa negara sakura tersebut bisa bertahan dari hantaman krisis global saat ini karena topangan berarti dari sektor pertaniannya. Dan fakta lainnya, ia menyebutkan 99% petani di sana adalah adalah anggota Multi-purpose Agricultural Cooperatives (MPAC). Hal lain yang tak kalah menariknya, adalah bagaimana koperasi pertanian ini senantiasa memfasilitasi dan memvitalisasi sumberdaya yang ada di masyarakat, termasuk kelompok tua dan wanita, untuk hidup produktip. Diantara kegiatan itu adalah, memberikan sertifikat kepada “Grandma” dalam bidang makanan tradisional. “Grandma” atau kaum ibu yang berusia di atas 70 tahun itu, kemudian difasilitasi untuk mengajarkan keterampilannya di sekolah-sekolah kepada peserta didik.
Fenomena Jepang itu bukan sekedar mengulang-ngulang eksistensi koperasi dalam masyarakat khususnya di pedesaan, sebagaimana kerap dilontarkan oleh para politisi menjelang pemilu. Namun lebih jauh dari pada itu, adalah dirasakan semakin pentingnya pelibatan masyarakat dalam perubahan hidup dan kehidupannya ke arah yang lebih baik. Kaitan dengan itu, benar pendapat sementara pihak yang menyampaikan pentingnya konsep pemberdayaan menggantikan konsep pembangunan.
Pembangunan yang memiliki konotasi dominananya peran pemerintah dengan arus ide cenderung top-down serta menempatkan program sebagai substansi kegiatan. Menghasilkan mentalitas ketergantungan dan sekaligus merusak pranata yang lahir dari sistem budaya masyarakat akibat penyeragaman yang dilakukan. Dan dalam kenyataannya, saat ini di tengah banyaknya kesulitan yang dihadapi oleh bangsa kita sebagai dampak krisis ekonomoi global maupun dampak belum tuntasnya penentuan arah reformasi, pendulum perubahan tidak bisa dipertahankan di satu titik, yakni pemerintah.
Pada dasarnya pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses pengembangan potensi dan kemampuan sehingga tumbuh kapasitas untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi. Sedang Carlzon & Macauley berpendapat, pemberdayaan adalah membebaskan seseorang atau masyarakat dari kendali yang kaku, dan memberi kebebasan untuk bertanggung jawab terhadap ide-idenya, keputusan-keputusannya dan tindakan-tindakan nya. Dalam jangka panjang pemberdayaan berpotensi menghasilkan perubahan besar dalam masyarakat. Melalui penguatan kapasitas dalam berbagai variabel dalam masyarakat.
Dengan demikian pemberdayaan memiliki tiga syarat penting, yakni adanya (a) inisiatip masyarakat, (b) kebutuhan masyarakat yang terumuskan secara jelas, dan (c) dinamisasi lembaga internal.
Koperasi: Lembaga Pemberdaya
Pada dasarnya koperasi adalah lembaga pemberdaya. International Cooperative Alliance (1995), menetapkan koperasi sebagai, (a) perkumpulan otonom orang per orang yang bergabung secara sukarela (b) untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sosial, dan budaya serta aspirasi bersama (c) melalui perusahaan yang dimiliki dan dikendalikan demokratis. Pertama, sebagai perkumpulan sukarela, koperasi jelas memiliki kriteria sebagai suatu gerakan dari bawah yang eksistensinya tergantung pada keberdayaan elemen pendukungnya, yakni anggota. Kedua, keberadaan koperasi semata untuk memecahkan masalah nyata yang dihadapi oleh kelompoknya baik dalam berbagai bidang kehidupan yang dihadapi. Dan ketiga, tersedianya instrument berupa perusahaan yang dikendalikan oleh sistem nilai yang mereka sepakati bersama.
Perjalanan panjang pembangunan koperasi kita di masa lalu menghilangkan peran dan karakter koperasi sebagai lembaga pemeberdaya masyarakat (baca, anggota). Itu kita sudah tahu, mendiskusi hal itu apalagi mengeluhkannya jelas bukan solusi yang cerdas. Namun mempertanyakan eksistensi koperasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita, apalagi di saat sekarang, juga bukan sikap yang bijaksana. Setidak-tidaknya, ada dua alasan.
Pertama, krisis ekonomi global saat ini berbeda dengan krisis ekonomi yang kita hadapi sepuluh tahun yang lalu. Terlepas seberapa efektipnya jurus yang digunakan, tetapi krisis yang lalu dihadapi dengan empat jurus, yakni utang luar negeri, privatisasi, memperbaiki neraca perdagangan, dan –tanpa intervensi yang signifikan dari pemerintah- tumbuhnya ekonomi rakyat (baca, sektor informal). Krisis dunia saat ini, memungkinkan utang luar negeri dan privatisasi tidak lagi bisa dijadikan solusi, selain gejolak dalam negeri, juga karena pelaku -negara debitur dan investor luar- paling parah terkena imbas krisis ini. Demikian pula dengan aktivitas eksport sangat sulit dijadikan sandaran, karena faktanya negara-negara yang nilai ekspornya rendah yang justru pertumbuhan ekonominya masih positip saat ini.
Maka jawaban praktisnya, hanya ekonomi rakyat lah yang patut menjadi sandaran kita saat ini. Yakni ekonomi yang berbasis pada kekuatan dan muatan lokal melalui optimasi sumber dan pasar dalam negeri. Tapi itu bisa berjalan dengan baik, bila pelaku usaha, dan umumnya masyarakat, memiliki kemampuan untuk menjalankan mesin ekonominya itu. Disitulah pentingnya program pemberdayaan kepada kelompok bawah ini agar mereka memiliki daya tahan yang tangguh. Dan koperasi layak dipilih sebagai lembaga internal masyarakat yang akan menggerakan ekonomi masyarakat di tingkat bawah. Dalam konteks itu, seyogyanya kita bersama belajar dari pengalaman masa lalu dalam menempatkan koperasi sebagai kekuatan ekonomi di tingkat bawah. Patut dihindari penumpang gelap dan masuknya budaya “premanisme” dalam koperasi, yang memanfaatkan kecerobohan asumsi pembangunan koperasi di masa lalu yang bersandar pada “pokoknya koperasi”.
Kedua. Sikap apriori tentang kegagalan manajemen koperasi dimaknai dan ditafsirkan sebagai kegagalan koperasi. Serta krisis identitas bagi pelaku koperasi pada khususnya, dan krisis jati diri bangsa pada umumnya, menjadi penyebab koperasi ditempatkan pada posisi sempit dan gelap. Yang hanya indah diucapkan pada saat menjelang pemilu atau pilkada, namun selalu tidak pernah berjalan dalam praktiknya. Sebagai alasan klasik, masyarakat tidak siap berkoperasi, dan tibalah pada sesimpulan bahwa koperasi sudah tidak layak lagi dijadikan sebagai soko guru ekonomi nasional.
Kesimpulan itu sangat menggelikan, selain menggambarkan keputusasaan, juga tidak melihat kenyataan bahwa di negara maju yang kita sebut sebagai sarangnya kelompok kapitalisme, koperasi bisa maju. Paparan di pembuka tulisan ini, bagaimana Jepang begitu serius memberdayakan masyarakatnya melalui koperasi. Saya pernah menyaksikan sendiri bagaimana koperasi di Waseda University Tokyo berkembang di perguruan tinggi kelas dunia ini yang telah hidup lebih dari seratus tahun. Mahasiswa maupun guru besarnya, serta tamu-tamu perguruan tinggi itu tidak merasa risi memanfaatkan jasa dari usaha yang dikembangkannya.
Tujuh puluh persen orang dewasa di Singapura adalah anggota koperasi bandingkan di kita baru sekitar 17 persenan. Di Amerika Serikat ratusan juta warganya pemanfaat jasa usaha koperasi. Raksasa ekonomi Asia, India mengembangkan Anand model untuk mengembangkan koperasi pertaniannya, demikian pula di Filipina dengan Lincoma coop-nya, atau di Taiwan, Thailand dan Korea yang telah berhasil membangun koperasi pertaniannya yang mampu menopang ekonomi nasionalnya lebih baik lagi. Pertanyaannya, koperasinya atau kita nya yang salah dalam menjalankan koperasi?
Sejalan dengan itu, saya jadi ingat peristiwa yang mengagetkan dua tahun yang lalu saat menyusuri perbatasan Indonesia dan Malaysia di pulau Kalimantan. Sumberdaya alam, budaya masyarakat, potensi ekonomi di kedua kawasan itu relatip sama namun ternyata menghasilkan dampak yang berbeda terhadap kesejahteraan warganya. Itu hanya sekedar analog, jangan sekali-kali kita mengatakan orang dayaknya yang pemalas, faktanya di seberang sana mereka tidak begitu. Hikmahnya, kita harus jujur ada yang salah dalam iklim manajemen berbangsa kita, bukan pada koperasinya.
Desa Membangun
Terus terang saya respek dengan langkah gubernur Jabar saat ini, di tengah keterbatasan kewenangan yang dimiliki akibat otonomi daerah, komitmen dan perhatian terhadap desa cukup jelas. Fakta kemiskinan kita sebagian besar ada di desa, serta potensi pertanian kita masih cukup besar, adalah pendorong komitmen ke arah itu.
Benarkah masyakat desa kita malas dan tidak produktip. Kita harus berani berasumsi, kemiskinan dan kemalasan yang ada di pedesaan disebabkan oleh masalah struktural. Masalah pendidikan, keterbatasan infrastruktur yang menopang mobilitas, dan stock of money di perdesaan selama ini memungkinkan sumberdaya yang ada belum bisa dioptimalkan. Ketiga masalah pokok tersebut, sebenarnya bisa dijembatani oleh kebijakan fiscal yang digulirkan oleh pemerintah pada semua tingkatan sesuai dengan kewenangan.
Ketiga masalah tersebut pada dasarnya dapat berhulu dan bermuara pada satu kenyataan, yakni rendahnya daya beli masyarakat. Bila asumsi di atas kita gunakan secara konsisten, yakni pentingnya perbaikan struktural, maka menggelontorkan uang ke desa dan memelihara agar bisa dapat bertahan lama di desa, serta beranak pinak di sana; merupakan langkah tepat.
Usaha untuk mendatangkan uang bisa dilakukan melalui pendekatan belanja pemerintah lewat pembangunan infrastruktur dengan pola padat karya, dan bantuan bea siswa pendidikan. Namun dapat juga dengan merangsang lembaga keuangan masuk ke desa, dan pemerintah aktip menghidupkan lembaga penjaminan kredit. Hal yang terakhir itu diperlukan mengingat, pemerintah tidak mungkin memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap modal usaha pedesaan, sementara masyarakat desa belum menarik lembaga keuangan karena keterbatasan jaminan yang ada di masyarakat.
Posisi lembaga ekonomi masyarakat sangat penting untuk mengembangkan dinamika yang akan berkembang, seiring dengan tersedianya uang di desa. Lembaga ekonomi yang dimaksud bisa berbentuk apapun itu, tidak perlu bentuk koperasi. Kebijakan yang menekankan pada “pokoknya koperasi” sebagaimana dilakukan di masa lalu terbukti tidak memecahkan masalah. Malahan merusak citra koperasi di mata masyarakat. Namun ternyata bila ada koperasi yang sehat di masyarakat dan terbukti bisa amanah, mengapa tidak? Inilah saat yang tepat bagi penggiat koperasi untuk membuktikan bahwa koperasi adalah solusi.
www.apaajja.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar